opini

TV Digital Jalan Terus, Tapi Iklannya Ke Mana?

Di tengah gempuran platform streaming, TikTok, dan YouTube Shorts, televisi lokal di Indonesia sedang menghadapi tantangan berat. Peralihan ke siaran digital yang digadang-gadang akan membuka “babak baru” dalam industri penyiaran, ternyata juga membawa dilema kehilangan iklan yang selama ini jadi urat nadi stasiun TV.

Migrasi ke siaran digital memang sebuah langkah strategis. Gambar lebih jernih, kanal lebih banyak, dan potensi konten lokal lebih besar. Tapi satu pertanyaan masih menggelayut siapa yang nonton?

TV Lokal Hidup Segan, Mati Tak Mau?

Sejak proses analog switch off (ASO) dimulai dan televisi digital menjadi standar baru, banyak stasiun TV lokal justru makin sepi penonton. Iklan makin sedikit, acara makin monoton, dan anggaran makin seret.

Di beberapa daerah, terutama luar Jawa, stasiun-stasiun kecil bahkan terpaksa mengulang siaran lama karena tidak punya biaya produksi untuk konten baru. Padahal, TV lokal selama ini menjadi ruang penting bagi tayangan khas daerah, bahasa lokal, dan program berbasis komunitas.

Fenomena ini bisa disamakan dengan perubahan yang terjadi di banyak objek wisata lama saat trend berpindah. Misalnya, ketika orang-orang dulu ramai ke televisi untuk hiburan sore hari, sekarang malah lebih tertarik scroll TikTok sambil makan Tahu Brontak favorit mereka di warung kekinian.

Iklan Kabur ke Platform Digital

Salah satu alasan utama mengapa industri televisi mulai megap-megap adalah karena anggaran iklan berpindah arah. Saat dulu brand besar berebut slot prime time, sekarang mereka lebih fokus menyasar algoritma.

Angka dari Nielsen Indonesia menunjukkan bahwa belanja iklan di media digital meningkat 21% di semester pertama 2025, sementara TV nasional dan lokal turun sekitar 9%. Bagi stasiun besar mungkin masih bisa bertahan dengan format variety show dan talent search, tapi TV lokal jelas tak punya amunisi sebesar itu.

Bayangkan satu iklan snack rumahan lebih memilih endorse food vlogger daripada tayang di iklan pagi TV lokal Banyumas. Bahkan di kawasan wisata seperti Bendungan Slinga, yang dulunya sering jadi latar program wisata TV daerah, kini lebih sering muncul di Instagram Reels dan video YouTube travel.

Persaingan Konten TV Kalah Cepat, Kalah Kreatif

Kekalahan TV bukan hanya soal teknologi, tapi soal kecepatan dan kreativitas. Konten di TikTok bisa viral dalam hitungan jam, sedangkan program TV butuh waktu produksi berminggu-minggu.

TV lokal juga punya batasan format yang ketat. Sementara di platform digital, kreator bisa dengan bebas membahas topik apapun: dari review kuliner, drama tetangga, sampai liputan edukatif tentang perubahan iklim.

Sayangnya, beberapa regulasi penyiaran digital belum ramah terhadap inovasi TV lokal. Mereka tetap harus tunduk pada standar KPI dan aturan durasi, padahal audiens zaman sekarang lebih menyukai tayangan pendek, ringkas, dan to the point.

Jalan Tengah Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Melawan media digital secara langsung mungkin langkah yang sia-sia. Tapi bagaimana jika TV lokal mulai berkolaborasi?

Beberapa stasiun sudah mencoba. Di Surabaya, salah satu TV lokal menggandeng kreator TikTok untuk mengisi segmen “Ngobrol Santai Sore”. Di Jogja, stasiun daerah bekerja sama dengan mahasiswa kreatif untuk membuat web series lokal yang juga tayang di YouTube.

Langkah-langkah kecil ini menunjukkan bahwa TV masih bisa hidup, asal mau adaptif. TV lokal bisa tetap menjadi panggung bagi budaya daerah, asal mereka berani mengganti kemasan dan memanfaatkan platform baru sebagai teman, bukan musuh.

Perlu Insentif dan Regulasi yang Adaptif

Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa lepas tangan. Jika ingin industri penyiaran tetap hidup, terutama yang berperan menjaga konten lokal, maka harus ada insentif nyata. Bisa dalam bentuk subsidi produksi, pelatihan SDM kreatif, atau skema kerja sama dengan komunitas digital.

Selain itu, regulasi juga harus ikut berubah. Aturan yang terlalu kaku justru bisa membuat TV lokal kehilangan kesempatan untuk tumbuh. Dalam era digital ini, kecepatan dan relevansi jauh lebih penting dibandingkan format yang seragam.

Penutup

Televisi digital adalah pintu masa depan, tapi tidak semua siap masuk. Banyak stasiun lokal masih tertatih mengejar teknologi, sementara iklan sudah lari ke media lain.

Solusinya bukan nostalgia, tapi inovasi. TV lokal harus segera bertransformasi lebih fleksibel, kolaboratif, dan mendekat ke audiens yang kini tersebar di berbagai platform.

Jika tidak, jangan heran kalau suatu hari, TV lokal tinggal nama kalah oleh konten makan bebek goreng yang diambil pakai ponsel, tapi ditonton jutaan orang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *